Sejarah dan Perkembangan
Teknologi Antariksa (Nasional & Internasional)
Istilah perlombaan antariksa muncul pertama kali pada tahun 1957 tuh, tepatnya tanggal 4 Oktober, ketika Uni Soviet berhasil meluncurkan sebuah satelit tanpa awak bernama Sputnik I. Peluncuran itu sangat mengejutkan Amerika Serikat. Sputnik I juga menjadi awal gimana teknologi luar angkasa bisa berkembang seperti hingga saat ini, Squad.
Soviet cukup ambisius. Sebulan setelah Sputnik I, mereka kembali meluncurkan satelit bernama Sputnik II, yang kala itu diawaki seekor anjing bernama Laika. Namun, misi kedua Soviet itu gagal. Sputnik II meledak dan Laika tewas. Kematian anjing betina yang menjadi kelinci percobaan itu dikecam habis-habisan oleh pencinta binatang yang kebanyakan dari dunia barat. Melihat Soviet yang sudah dua kali meluncurkan satelit, Amerika Serikat pun nggak tinggal diam. Dalam bayang-bayang Soviet, Amerika Serikat ingin bergegas membalas.
Awal Desember di tahun yang sama, Amerika Serikat mencoba meluncurkan satelit pertama buatan dalam negeri mereka yang bernama Vanguard. Sayangnya, misi itu gagal. Kegagalannya disebabkan oleh sesaat sebelum meluncur, roket beserta satelitnya meledak di landasan peluncuran. Amerika Serikat pun kembali melakukan riset dan pengembangan satelit berikutnya setelah insiden memalukan itu.
Nggak lama setelah itu, tepatnya pada 31 Januari 1958, Amerika Serikat akhirnya bisa menandingi Soviet dengan meluncurkan satelit pertamanya, Explorer 1. Satelit dengan bobot seberat 13 kilogram itu aktif mengitari bumi sebelum akhirnya hilang kontak pada 23 Mei 1958.
Balas membalas misi luar angkasa itu terus berlangsung hingga puncaknya, yaitu meluncurkan manusia ke luar angkasa. Namun, lagi-lagi Soviet lebih dulu dalam melakukan hal itu.
Terpilihlah Yuri Gagarin, manusia pertama yang ke luar angkasa pada 12 April 1961 dalam misi bernama Vostok 1 untuk mengorbit bumi pada ketinggian sekitar 327 kilometer selama sekitar 108 menit, sebelum akhirnya kembali lagi mendarat dengan aman. "Mendaratkan manusia di bulan dan mengembalikannya dengan aman ke bumi dalam satu dekade" adalah tujuan nasional yang ditetapkan oleh Presiden Amerika Serikat saat itu, John F. Kennedy, pada tahun 1961 setelah Soviet meluncurkan Yuri Gagarin. Bagi mereka, mendaratkan manusia di bulan merupakan sebuah prestasi paling tinggi dalam bidang teknologi.
Benar saja, dalam rentang tahun 1961 hingga 1969, Amerika Serikat mempersiapkan segala teknologi yang dibutuhkan, mulai dari roket, modul pendarat, hingga pelatihan astronautnya. Hingga pada tanggal 20 Juli 1969, astronaut Neil Armstrong dan kawan-kawannya mendarat di bulan dalam misi Apollo 11. Oh iya, nggak cuma Apollo 11 saja yang berhasil mendarat di bulan, lho, Squad. Melainkan ada enam misi Apollo lainnya yang berhasil mendarat di benda langit terdekat bumi kita itu pada rentang tahun 1969 hingga 1972. Dengan begitu, total manusia yang pernah mendarat di bulan sejauh ini ada kurang lebih 12 orang.
Daftar Astronaut yang pernah ke bulan :
Teknologi luar angkasa dalam keberhasilan misi ke bulan itu kemudian digunakan kembali di tahun-tahun setelahnya. Seperti pada awal tahun 1970-an, satelit komunikasi dan navigasi mulai diluncurkan. Bahkan sebuah wahana antariksa bernama Mariner juga diluncurkan Amerika Serikat untuk mengorbit dan memetakan permukaan Mars.
Nggak cuma itu, Squad. Pada akhir dekade 70-an, Amerika Serikat juga meluncurkan wahana antariksa Voyager 1 dan Voyager 2, yang memiliki misi untuk memotret Jupiter dan Saturnus, bersama dengan cincin dan satelit mereka dari dekat. Pada 1980-an, teknologi luar angkasa semakin berkembang pesat lagi. Sudah banyak kala itu satelit komunikasi yang diluncurkan untuk mendukung berjalannya program-program televisi, telepon komunikasi, hingga internet.
Teknologi luar angkasa Indonesia sendiri dimulai sejak tahun 1976 dengan peluncuran satelit Palapa A1 dan tahun 1987 dengan peluncuran satelit Palapa B1, keduanya merupakan sebuah satelit komunikasi. Teknologi luar angkasa pasca perang dingin terlihat dalam pembentukan Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) oleh Amerika Serikat dan Rusia pada 20 November 1998. ISS yang merupakan sebuah laboratorium penelitian yang ditempatkan di orbit rendah bumi itu menjadi simbol kerja sama dalam eksplorasi luar angkasa antara dua negara besar yang dulu bersaing.
ISS merupakan satelit terbesar buatan manusia. Ia dihuni oleh tiga sampai enam astronaut yang bergantian pergi-pulang selama enam bulan sekali sejak November 2000. Untuk menuju ISS, manusia menggunakan teknologi kapsul antariksa bernama Soyuz buatan Rusia, sementara logistiknya diangkut dengan kapsul Dragon milik Amerika Serikat.
Saat ini, ISS nggak cuma hasil kerja sama antara Amerika Serikat dan Rusia saja, Squad. Melainkan negara-negara seperti Kanada, Jepang, Prancis, Belgia, Denmark, Jerman, Britania Raya, Italia, Belanda, Norwegia, Swedia, Spanyol, dan Swiss juga ikut andil dalam memajukan ISS. Selama ini, kita memang jarang mendengar prestasi Indonesia di bidang keantariksaan. Di saat bangsa-bangsa lain telah menjelajah ke luar angkasa dan bahkan mendarat di bulan, negara kita tampaknya belum mau sampai ke tahap itu.
Satelit Palapa dan Kebanggaan Orde Baru
Pratiwi seharusnya berangkat pada tanggal 24 Juni 1986 dan pulang kembali 1 Juli 1986. Namun, rencana itu tinggal rencana. Misi dibatalkan karena adanya kecelakaan pesawat Challenger, sebuah pesawat ulang alik yang meledak 73 detik setelah diluncurkan, menyebabkan kematian tujuh awak astronautnya. Pesawat nahas itu hancur di atas Samudera Atlantik.
Sejak saat itu, teknologi luar angkasa Indonesia lebih terfokus pada sistem komunikasi satelit untuk komunikasi antardaerah dan antarnegara, serta menyambungkan komunikasi telepon, televisi, radio, faksimili, dan internet. 27 tahun berselang, Indonesia melalui Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) mulai kembali mengembangkan satelit sendiri hasil riset dan kerja sama dengan Jerman. Pada 10 Januari 2010, satelit komunikasi dan penginderaan jauh terbaru milik Indonesia yang bernama LAPAN A1 diluncurkan.
Lalu pada September 2015, LAPAN yang bekerja sama dengan Organisasi Radio Amatir Indonesia (ORARI), sukses meluncurkan satelit LAPAN A2 dengan menumpang satelit milik India. Hingga yang terbaru, bekerja sama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB), LAPAN meluncurkan satelit LAPAN A3 pada tahun 2016. Ketiga satelit terbaru Indonesia itu memiliki tugas yang hampir sama, tetapi dengan teknologi satelit yang berbeda dan semakin berkembang.
Satelit Palapa adalah satelit pertama milik Indonesia, dan jadi kebanggaan di Orde Baru. Sejatinya Walter Peterson adalah seorang petualang. Dia
seperti Don Juan yang selalu ditemani perempuan cantik di mana pun dia berada.
Termasuk di Jakarta dan Bandung. Keahliannya sebagai insinyur penggarap satelit
ruang angkasa, ikut membawanya ke Indonesia. Pemuda Jerman yang lama mukim di
Amerika itu, seperti diceritakan Klaus G. Johannsen dalam Jalan Ke Bogor;
Palapa dan Wanita Papua (2004), adalah salah satu dari tim ekspatriat yang
membangun satelit kebanggaan Indonesia bernama Palapa. “Peluncuran satelit dari
Satelit Palapa merupakan suatu peristiwa nasional yang mempunyai arti besar
bagi Indonesia. Pajabat tertinggi pemerintahan terlibat dalam proyek yang
mempertaruhkan gengsi nasional," tulis Klaus G.
Johannsen dalam Jalan Ke Bogor; Palapa dan Wanita
Papua (2004:161).
Satelit Palapa punya arti penting bagi Indonesia. Ini adalah satelit pertama milik Indonesia, dan tentu saja jadi kebanggaan bagi Orde Baru. Mengapa satelit ini bernama Palapa? Tentu saja ini sangat menarik untuk dikaitkan dengan sumpah yang pernah diucapkan Gajah Mada.
Di masa Orde Baru yang disebut sebagai era pembangunan nasional, Satelit Palapa sangat penting kehadirannya. Satelit domestik itu bisa meringkas jarak komunikasi antar tempat di Indonesia yang amat luas wilayahnya. Penamaan satelit sebagai Palapa sendiri baru dilakukan 16 Agustus 1976. Jauh sebelum itu, pemerintah sudah merancang soal satelit ini.
Sejak 1969, pemerintah Indonesia sudah meresmikan Stasiun Bumi di Jatiluhur, melalui tangan Presiden Soeharto. Menurut Bondan Winarno dalam biografi JB Sumarlin: Cabe Rawit Yang Lahir Di Sawah (2012:180-181), stasiun satelit itu terkait dengan Indosat, sebuah perusahaan yang didirikan pada 1969 oleh American Cable Radio Corporation (ACR), anak dari International Telephone Telegraph Corporation (ITT). Setelah era penanaman modal asing, ITT tertarik dengan Indonesia. Indosat yang lahir di masa terbukanya Indonesia bagi modal asing, merupakan singkatan dari Indonesia Satellite.
“Saya ingat pada sejarah Mahapatih Gajah Mada dulu yang telah bersumpah, tidak akan makan buah Palapa sebelum persatuan dan kesatuan kerajaan Majapahit menjadi kenyataan," aku Soeharto dalam autibiografinya, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (1989:323).
Di masa Orde Baru yang disebut sebagai era pembangunan nasional, Satelit Palapa sangat penting kehadirannya. Satelit domestik itu bisa meringkas jarak komunikasi antar tempat di Indonesia yang amat luas wilayahnya. Penamaan satelit sebagai Palapa sendiri baru dilakukan 16 Agustus 1976. Jauh sebelum itu, pemerintah sudah merancang soal satelit ini.
Sejak 1969, pemerintah Indonesia sudah meresmikan Stasiun Bumi di Jatiluhur, melalui tangan Presiden Soeharto. Menurut Bondan Winarno dalam biografi JB Sumarlin: Cabe Rawit Yang Lahir Di Sawah (2012:180-181), stasiun satelit itu terkait dengan Indosat, sebuah perusahaan yang didirikan pada 1969 oleh American Cable Radio Corporation (ACR), anak dari International Telephone Telegraph Corporation (ITT). Setelah era penanaman modal asing, ITT tertarik dengan Indonesia. Indosat yang lahir di masa terbukanya Indonesia bagi modal asing, merupakan singkatan dari Indonesia Satellite.
“Indosat menjadi service provider satu-satunya bagi Perumtel (kemudian menjadi PT Telkom) dalam penyediaan jasa sambungan telepon internasional. Media yang digunakan adalah satelit komunikasi Intelsat," tulis Bondan Winarno. Intelsat merupakan singkatan dari International Telecommunications Satellite, sebuah perusahaan layanan satelit, yang yang berdiri sejak 1964 dan terdiri dari Amerika Serikat, Australia, Kanada, Jepang, dan kini beranggotakan 149 negara. Indonesia masuk dalam konsorsium itu sejak 1967.
Era 1970-an, Perumtel dipimpin Direkturnya Ir Willy Moenandir. Sementara itu Direktur Jenderal Pos Telekomunikasi (Dirjen Postel) dipegang oleh Mayor Jenderal Soehardjono. Menurut Arnold Djiwatampu, dalam Strategi Perjuangan Telekomunikasi (2015:17), Soehardjono, yang mantan Asisten Komunikasi dan Elektronika Departemen Pertahanan Keamanan itu, mengisi jabatan itu sejak 1966. Dua orang inilah yang terkait dengan konsep, yang belakangan jadi proyek penting Indonesia, Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD). Akhirnya, seperti ditulis dalam buku Mengenang Sewindu SKSD Palapa (1984:20), Indonesia pun bekerja sama dengan Hughes Aircraft Company dari Amerika. Kontrak diteken pada 5 Juli 1974.
Pada Agustus 1974, Soehardjono pun menjelaskan Proyek SKSD kepada para menteri terkait, yakni Menteri Riset dan Teknologi Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, Menteri Penertiban Aparatur Negara/Wakil Ketua Badan Perancang Pembangunan Nasional, Dr. J.B. Soemarlin, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Syarif Thayeb, dan Menteri Penerangan Mashuri. Pemerintah akhirnya mendukung proyek satelit itu.
Satelit itu diluncurkan di Cape Canaveral,
Florida, Amerika Serikat pada Kamis sore, tanggal 8 Juli 1976 jam 19.30 waktu
setempat. Sudah tentu ada pejabat Indonesia yang hadir di sana. Satelit yang diangkut
di roket pendukung Thor Delta itu, kemudian mengorbit di atas Samudra Hindia.
Gengsi Indonesia di mata negara-negara Asia dan Pasifik tentu naik berkat
Satelit Palapa.
Di era 1970an, tak semua negara punya satelit.
Indonesia tentu boleh mendongakkan dagu soal ini. Menurut catatan Ishadi Sutopo
dan Sumarsono Soemardjo dalam Dunia Penyiaran: Prospek dan
Tantangannya (1999:8), "Indonesia merupakan negara ketiga di dunia
setelah Kanada dan Amerika Serikat yang membangun sistem komunikasi satelit
domestik."
Seperti dicatat dalam
buku Jejak Langkah Pak Harto 27 Maret 1973-23 Maret 1978 (2003:376),
pada 12 Juli 1976 siang, Presiden Soeharto menuju stasiun bumi di Cibinong.
Soeharto ditemani Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim, Direktur Jenderal Pos Telekomunikasi
Soehardjono, Kepala G-1 Hankam, Mayor Jenderal Benny Moerdani.
Bagi
Presiden Soeharto, peluncuran satelit Palapa itu dianggap penting di era
pembangunan nasional yang dia gerakkan. Seperti ditulis Abdul Gafur dalam
buku Pak Harto: Pandangan dan Harapan(293), “karena pembangunan berhasil
kita mampu membeli satelit dan roket (untuk generasi pertama, sedangkan
generasi kedua dengan pesawat ulang-alik) yang melontarkannya ke angkasa."
Semula
satelit Palapa dikelola oleh Perumtel—yang kini jadi Telkom. Belakangan,
berdiri pula PT Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) yang ikut mengelola
satelit Palapa. Satelit Palapa pertama adalah A1, yang diluncurkan pada 1978,
pensiun pada 1983. Selain A1, ada juga A2 yang diluncurkan pada 1977 dan
pensiun pada 1988. Hingga kini Satelit Palapa berkali-kali ganti. Selain Telkom
dan Satelindo, belakangan Indosat juga ikut mengelola satelit. Pemerintah
Indonesia, seperti dicatat Bondan Winarno (2012:181), pada 1976 juga membangun
proyek kabel bawah laut antara Medan dengan Penang. Indosat yang untung besar
sebagai provider Perumtel, akhirnya diajak ikut serta. Tapi rupanya Indosat
ogah. Presiden Soeharto kecewa dengan Indosat.
Sempat
muncul isu Indosat akan dinasionalisasikan. Tapi era 1980-an, waktu oil
boom yang bikin Indonesia kaya berkat minyak, Indosat pun diakuisisi.
Seorang Toraja bernama Jonathan Parapak kemudian ditugasi memimpin Indosat. Satelit
Palapa, nyatanya memang berfungsi seperti yang diharapkan. Lewat Satelit Palapa
pula Televisi Republik Indonesia (TVRI) bisa mengudara dan menyapa rakyat
Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Bahkan tak hanya TVRI, satelit Palapa
juga berperan pada lahirnya tiga televisi swasta pertama di Indonesia. “Berbasis
di Jakarta, Bandung dan Surabaya, ketiga saluran televisi sekarang berskala
nasional berkat menggunakan satelit Palapa," tulis David T Hill
dalam Pers di Masa Orde Baru (2011:119).
Selain
oleh seluruh rakyat Indonesia, Satelit Palapa juga dinikmati anak Soeharto.
Tentu saja karena di antara stasiun televisi swasta yang ada, anak-anak
Soeharto punya saham. Bambang Trihatmodjo di Rajawali Citra Televisi (RCTI) dan
Siti Hardiyanti di Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Ternyata tak hanya
anak, adik tiri pun juga. Sudwikatmono juga terkait dengan Surya Citra Televisi
(SCTV).
(KELOMPOK 3)
- Akbar Mulyadi Rusmana
- Fathur Alhadian
- Laurent Chusnein
- Riska Nabila
- Riska Nur Asiyah
- Sheva Septian Wijaya
Sumber
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar